Oleh : Sam Edy Yuswanto
Ilustrasi : Akbar
Sepasang sepatu teronggok di pojok gudang yang gelap dan pengap. Kini, mereka merasa tak berguna. Tak ada harganya sama sekali. Sepatu sebelah kiri bagian depan robek. Sementara sepatu sebelah kanan masih utuh. Tapi keduanya memiliki satu kesamaan, lusuh dan kotor. Kini, Gina enggan memakainya lagi. Karena ia telah memiliki sepatu baru yang akan setia menemaninya berangkat dan pulang sekolah setiap hari.
“Malang benar nasib kita, ya? Teronggok tak berguna di gudang pengap ini. Tubuh kita kotor tak pernah dibersihkan, rasanya gatal-gatal semua,” sepatu kiri mengeluhkan nasibnya yang kini berada di gudang. Sepatu kanan menatap pasangannya dengan raut sedih.
“Kamu mending, tubuhmu utuh, tak seperti tubuhku yang bagian depannya robek,” sepatu kiri melanjutkan keluhannya.
“Yang jelas, kita berdua senasib. Sama-sama tak beruntung. Sebaiknya kita berdoa, semoga suatu saat Gina mau menggunakan kita kembali,” ucap sepatu kanan, berusaha tersenyum menularkan semangat.
“Hahaha!” sepatu kiri tertawa lepas.
“Mengapa kamu tertawa?” sepatu kanan mengerut keheranan.
“Jangan mimpi, mana mungkin Gina mau memakai kita lagi? Apa kamu lupa, alasan Gina menelantarkan kita di gudang ini?”
Sepatu kanan diam bermenung. Ya, tentu saja ia masih ingat alasan bocah perempuan kelas III SD itu menelantarkan dirinya di gudang lembap ini. Karena kini Gina sudah memiliki sepatu baru berwarna hitam yang bagus dan mahal.
***
Seberkas sinar menerobos masuk ke dalam gudang gelap itu. Suara derit engsel yang bersumber dari pintu gudang membuat sepatu kanan yang tengah terlelap langsung terjaga. Ia melirik pasangannya yang masih terlelap.
“Sstt, bangun, Kawan,” sepatu kanan membangunkan pasangannya.
Sepatu kiri menggeliat dan membuka matanya yang langsung silau oleh pendar sinar yang menerangi gudang.
“Ada apa ini?” tanya sepatu kiri kebingungan. Sepatu kanan menatap sepatu kiri sambil menggeleng tak tahu.
Tiba-tiba, Gina yang tangan kanannya mencengkeram senter telah berada di depan keduanya. Sepasang sepatu usang itu hanya saling pandang dengan raut penuh tanya saat Gina berjongkok dan membawa mereka keluar gudang.
***
Gina membawa sepasang sepatu usang itu ke luar rumah dan memberikannya kepada seorang gadis kecil berbaju kumal. Gadis kecil yang menggendong karung kecil itu menerima sepatu pemberian Gina dengan raut berbinar. Ia adalah gadis pemulung yang biasa berkeliling kompleks perumahan untuk mencari barang-barang bekas dan sampah plastik untuk dijual.
“Terima kasih, ya?” ucap gadis itu menatap Gina dengan raut senang.
“Ya, sama-sama,” balas Gina sambil tersenyum.
Gadis kecil itu pun berlalu, meninggalkan rumah Gina dengan hati berbunga.
***
“Alhamdulillah, akhirnya aku punya sepatu juga,” Rini mengelus-elus sepasang sepatu hitam yang kini terlihat bersih dan layak pakai. Sepatu bagian kiri yang semula robek, kini telah tertutup rapat. Ayah gadis itu yang kesehariannya juga memulung sampah, telah menjahit sepatu itu lalu mencucinya hingga bersih.
Dulu, Rini pernah memiliki sepatu, tapi hilang saat sedang dijemur di depan rumah kayunya. Mungkin diambil oleh sesama pemulung yang biasa lewat di depan rumah.
Sementara ayah belum memiliki uang untuk membelikan sepatu baru atau paling tidak sepatu bekas untuknya. Selama ini, ia berangkat ke sekolah mengenakan sendal jepit. Untung, para guru di sekolah memaklumi kondisinya yang berasal dari keluarga miskin, sehingga tak melarang dirinya mengenakan sendal jepit. Tak hanya Rini yang gembira karena telah memiliki sepatu meski bukan sepatu baru. Sepasang sepatu itu pun merasa sangat gembira dan bersyukur karena ada orang yang sudi memakainya lagi.
Suara Merdeka, 18 September 2016