Penulis : Lia Herliana
Ilustrator : Farid S Madjid
Di lereng sungai kecil dekat sarang Kedi Kadal, ada seekor ular sawah yang baru pindah. Ular itu datang dari barat lahan pertanian, yang dialiri sungai kecil. Kedi melihat ular itu membuat lubang sarang di balik sesemakan tanaman liar. Kedi senang sekali karena punya tetangga baru. Ia ingin mengajak ular itu berkenalan. Tapi sejak pindah ke situ, si ular jarang terlihat keluar dari sarangnya.
Suatu siang, Kedi sedang berjemur di bawah sinar matahari. Ia melihat ular itu menggeleser keluar dari lubangnya. Bergegas, Kedi menyapanya. Namun, rupanya tetangga barunya itu tak mendengar. Keesokan harinya, Kedi sengaja menunggu di dekat sarang sang ular. Tak lama, ular sawah itu muncul di mulut lubang, lalu melata pergi.
“Ah, mungkin dia tidak melihatku tadi,” batin Kedi.
“Coba kupanggil dia.”
“Hei, ular, tunggu!” panggil Kedi. Tapi, ular itu seakan tak mendengar. Ia terus saja menjauh. Kedi termangu melihatnya.
“Mungkin dia terburu-buru,” gumam Kedi.
Tapi, lama-kelamaan Kedi menjadi heran melihat tingkah ular itu. Ia tak pernah sekali pun menjawab panggilannya. Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Pernah sekali, mereka berpapasan. Ular itu tersenyum tipis pada Kedi, lalu meneruskan perjalanannya. Sewaktu Kedi berusaha memanggil, ular itu kembali tak menyahut. Pernah juga, Kedi memanggil-manggil di depan sarang ular itu. Kedi tahu persis, ular itu baru saja masuk ke lubangnya.
“Halo, tetanggaku! Hei, jangan diam saja, dong!” teriak Kedi. Namun, lagi-lagi tak ada jawaban. Saat itulah, Kedi menjadi sangat jengkel. Berbagai prasangka buruk menyerbu pikirannya.
Huh, sombong sekali ular itu. Padahal dia kan baru di sini. Seharusnya, dia lebih ramah. Begitu batin Kedi menggerutu.
Kedi lalu menceritakan perihal ular itu pada penghuni persawahan lain. Ia mengumpulkan bunglon, jangkrik, kaki seribu, dan tikus sawah.
Kata Kedi, “Kalian tahu, ular baru itu benar-benar keterlaluan! Ia sombong sekali! Tak perah sekalipun menyapaku. Kalau aku sapa, dia juga tidak mau menjawab, malah pergi. Huh, tidak sopan!”
“Siapa, sih, namanya?” tanya Tiki Tikus.
“Mana aku tahu? Ia kan tidak pernah mau menyahut panggilanku!” jawab Kedi.
Bubu Kaki Seribu mengangguk-angguk. Loni Bunglon menyahut, “Apa benar begitu? Siapa tahu ia tidak mendengar waktu kamu panggil?”
“Tidak!” seru Kedi berapi-api. “Bukan cuma sekali aku panggil ia untuk berkenalan, tapi berkali-kali! Dan ia tetap diam saja, lalu pergi! Menyebalkan!”
“Kelihatannya dia memang makhluk yang sombong ya,” ucap Jeri Jangkrik.
“Betul sekali! Aku menyarankan kepada kalian semua, untuk tidak usah mencoba berteman dengan ular itu!” sahut Kedi lagi.
Loni Bunglon menyela, “Tunggu dulu. Jangan asal menuduh begitu. Sebaiknya kita semua mencoba untuk menyapanya. Siapa tahu, kalau kita memanggilnya bersama-sama, dia mau mendengar.”
Meskipun enggan, Kedi terpaksa menyetujui usul Loni Bunglon. Akhirnya, mereka semua sepakat pergi ke lubang ular itu. Rombongan binatang itu tiba, bertepatan dengan sang ular yang baru saja muncul dari lubangnya. Ular itu tampak sangat terkejut. Tentu ia tak menyangka didatangi banyak binatang seperti itu.
Apalagi, di antara mereka ada yang berwajah sangat galak padanya.
“Halo,” Loni Bunglon menyapa. Ular itu diam saja.
Loni mencoba sekali lagi. Ia mendekat maju.
“Hai,” katanya, “Kami ingin berkenalan denganmu. Aku Loni. Siapa namamu?”
Ular itu masih diam.
“Hallooow, ular baru!” kali ini, Jeri Jangkrik berseru nyaring, sambil menggetarkan sayap-sayapnya.
Dan, si ular tetap bergeming. Hanya mata beningnya menatap dengan pandangan bingung. Semua binatang di depannya saling berpandangan. Suasana menjadi begitu kikuk. “Astaga,” desis Loni Bunglon. “Ia ini kenapa, sih? Masa dari tadi kita di depannya dan bicara dengannya, ia tidak mengerti?”
Kedi tersenyum sinis, seakan berkata, “Nah, benar, kan?”
Ular itu memiringkan kepalanya. Wajahnya terlihat tambah bingung. Tepat saat Kedi mengajak teman-temannya pulang, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang parau, sengau, dan terbata-bata.
“Mmm O Ap O apa?”
Kedi dan teman-temannya terbelalak heran. Akhirnya, ular itu bicara! Ular itu berkata lagi, tetap dengan suara yang lirih, “Tidak O dengar!”
Semua binatang kaget mendengarnya. Tidak bisa mendengar? Kasihan sekali! Loni Bunglon mendekati ular itu. Ia menggerakkan tangannya, membuat bahasa isyarat. Ia mencoba bilang, kalau mereka semua ingin bersahabat dengannya. Rupanya, ular itu mengerti. Ia menjawab dengan gerakan kepala dan meliuk-liukkan tubuhnya dengan gembira.
Bahkan, ia bisa menyebutkan namanya,”Ola.”
Ola lalu menceritakan dengan susah payah bahwa bangsanya memang tidak punya pendengaran yang baik. Sementara itu, Kedi tampak pucat pasi. Ia malu sekali. Juga merasa bersalah. Ia sudah menuduh Ola sombong. Padahal, selama ini ternyata Ola benar-benar tak mendengar panggilannya, karena Ola memang tak bisa mendengar.
Kedi meminta maaf pada Ola, dengan gerakan mulutnya. Ola tersenyum senang. Sejak saat itu, mereka semua menjadi sahabat baik.(75)
Suara Merdeka 15 Desember 2013