NASI AKING
Karya : Kartika Catur Pelita
Ilustrator : Kak Jo
Sepulang sekolah Aji menyandarkan sepedanya. Setelah melepas sepatu dan menaruh tas, dia bergegas menuju ruang makan. Dia sangat haus dan lapar. Tadi pagi Mak hanya memberinya uang saku seribu rupiah. Cuma cukup untuk membeli setusuk sosis goreng.
”Yaa… tempe goreng dan sayur bayam,” desah Aji kecewa. Ditutupnya kembali tudung saji yang sebelumnya dengan tergesa dia buka. Melihat itu Mbak Irma, kakaknya, menghampiri.
”Mengapa ditutup lagi? Nggak lapar?” tanyanya.
”Ogah, lauknya nggak enak,” jawab Aji sewot.
”Aji, Aji… Kalau punya uang, Mak pasti membelikanmu ikan atau ayam kesukaanmu. Tapi Mak kan belum bayaran?”
”Nggak. Aji nggak lapar. Aji mau ke perpustakaan, Mbak,” pamitnya. Dia lalu mengayuh sepedanya menuju perpustakaan. Aji memang sering menghabiskan waktu di perpustakaan.
Tiba di perpustakaan, dia langsung suntuk membaca. Tak terasa sudah pukul 14.00. Aji teringat bahwa dia harus segera pulang. Ada PR yang harus dikerjakan. Aji mengayuh sepedanya cepat. Di depan gang dekat perpustakaan, hampir saja dia menabrak seorang anak yang seumuran dengannya. Ternyata anak itu adalah Maman, teman sekelasnya.
”Maaf ya,” kata Aji.
”Nggak apa-apa kok,” jawab Maman sembari nyengir.
”Eh kamu dari mana, Man?”
”Dari Bu Kasih, mengambil uang hasil anyaman tikar nenek. Ini mau pulang.”
”Memangnya rumahmu dimana?î
”Dekat sini. Mampir yuk,” ajak Maman.
Karena ingin tahu, Aji mengiyakan. Setelah sepuluh menit bersepeda, keduanya tiba di sebuah rumah kecil pinggir sungai. Rumah itu terbuat dari bambu. Sebagian dindingnya berlubang. Ah masih lebih bagus rumahku, desah Aji.
”Masuk yuk. Ya beginilah keadaan gubukku,” kata Maman. Biasa saja. Tak ada raut kesedihan di wajahnya. Mungkin dia sudah terbiasa dengan kehidupannya yang pas-pasan.
”Eh Aji, kamu sudah makan atau belum?”
Aji menggeleng. Mendengar kata makan perutnya tiba-tiba terasa melilit. Lapar. ”Kita makan, yuk…”
Aji mengiyakan. Dia lalu mengikuti Maman menuju dapur. Di sana ada sebuah meja makan yang telah tua. Mereka duduk menghadap meja makan itu. Maman membuka tudung saji. Aji berharap menu makan siang Maman lebih enak dari yang disajikan Mak. Tapi ternyata… Aji kecewa saat melihat yang terhidang hanya kecap dan kerupuk bakar.
”Yuk, makan. Maaf ya, hanya ini.”
Aji hendak menggeleng, tapi perutnya melilit, lapar. Maman menyorongkan piring plastik.
”Ambil nasi sendiri, ya,” kata Maman sembari menyendok nasi.
”Nasi apa ini? Kok bentuknya aneh? Warnanya juga kusam, kecoklatan?”
Mendengar pertanyaan itu Maman hanya tersenyum. Dia lalu menjelaskan bahwa nasi yang dia makan adalah nasi aking.
”Kamu nggak tahu ya, Ji. Ini nasi aking.”
”Nasi aking? Kamu makan nasi aking?”
”Iya, ini adalah nasi sisa yang dijemur kemudian ditanak lagi. Rasanya enak kok. Cobalah.”
Dengan ragu Aji menyendok nasi aking itu dan menaruhnya ke dalam piringnya. Dia lalu mengambil sedikit kecap dan kerupuk.
”Penghasilan nenek sebagai tukang anyam tidak banyak. Kami tak kuat membeli beras,” tutur Maman menjelaskan.
Aji perlahan makan nasi aking. Rasanya aneh, tapi enak juga. Mungkin karena lapar sehingga semua terasa lezat. Saat itu Aji teringat pada nasi yang tersaji di rumahnya. Ah, pasti lebih lezat. Aji menyesal karena tadi tidak mau makan di rumah. Meski hanya sayur bayam dan tempe goreng, itu jauh lebih bergizi dari yang dimakan oleh Maman.
Sumber :
Suara Merdeka, 30 September 2012