Cernak : “Boneka Manisan Pepaya“
Oleh : Endah Kusumaningrum
Ilustrator : Farid S. Madjid
Tema : Bekerja keras, rajin menabung, tidak malu berusaha
Alfi masih teringat pada boneka tadi siang. Sewaktu pulang sekolah dia melihat boneka beruang berwarna pink yang sangat cantik dipajang di etalase toko di dekat perumahan. Besar boneka itu hampir sama dengan tubuh Alfi.
”Hmm… pasti harganya mahal,” kata
Alfi dalam hati. Alfi ragu untuk bilang pada ibunya. Pasti Ibu tidak akan mengizinkannya untuk membeli boneka itu, demikian pikir Alfi. Dia pun menjadi kesal memikirkan boneka beruang itu. Hufttt!
Aha! Tapi Alfi tak kehilangan akal. Sepulang sekolah langsung dia buka kotak celengannya. Selama beberapa bulan terakhir dia selalu mengisi celengan itu dengan uang saku yang sengaja dia sisihkan. Ternyata telah terkumpul Rp 160.000. Dia senang sekali.
Keesokan harinya sepulang sekolah Alfi kembali mampir ke toko tempat boneka beruang itu dijual. Di sepanjang perjalanan dia berdoa semoga boneka itu masih dipajang di etalase dan belum ada yang membelinya. Dan ternyata doa itu terkabul. Boneka beruang itu masih duduk manis di etalase toko.
Namun saat melihat harga yang tertera, Alfi langsung lemas. Ternyata boneka itu berharga Rp 300.000. Tentu saja uang Alfi yang hanya Rp 160.000 masih kurang. Alfi pun pulang dengan muka masam.
Ibu yang mengetahui hal itu kemudian menasihati Alfi agar tidak terlalu memikirkan boneka tersebut.
”Suatu saat jika uang Alfi sudah cukup, pasti Alfi bisa membeli boneka beruang yang lucu, bahkan yang lebih bagus dari yang Alfi inginkan sekarang,” demikian kata ibu.
Mau tak mau Alfi menuruti nasihat ibunya. Dia mencoba melupakan boneka beruang itu dari bayang-bayangnya.
Hingga pada suaru sore ketika Alfi sedang mencabuti rumput di halaman rumah, tiba-tiba ada pohon pepaya yang roboh. Pohon itu berbuah terlalu lebat sehingga tak kuat menahan beban.
Ayah yang mengetahui hal itu meminta Alfi untuk membantu memetik pepaya yang ada di pohon.
Akhirnya terkumpullah 30 buah pepaya. Ayah bingung, hendak diapakan pepaya-pepaya yang masih mengkal itu. Jika dihuang, tentu sayang. Jika dimasak untuk sayur, pepaya itu sudah terlalu matang. Kalau dibiarkan, bisa busuk.
Saat ayah kebingungan, tiba-tiba Alfi menemukan ide. Dia ingat beberapa hari yang lalu dia pernah makan manisan pepaya yang dibeli dari tukang es keliling. Rasanya manis, tidak berasa kalau itu buah pepaya.
Akhirnya Alfi memutuskan untuk mengolah pepaya-pepaya itu menjadi manisan. Dia kemudian bertanya pada ibunya bagaimana cara membuat manisan pepaya yang lezat. Ternyata ibu sangat mahir membuatnya. Alfi membantu ibu mengiris buah pepaya itu menjadi kecil-kecil dengan pisau bergerigi. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang panjang.
”Wah, manis sekali, Bu. Tak kalah dengan yang dijual oleh abang tukang es,” kata Alfi pada lbu.
”Eits… pasti ini lebih lezat dan lebih sehat dong, Al. Soalnya lbu kan pakai gula pasir yang asli dan tanpa pemanis, pewarna, serta pengawet buatan. Semuanya bahan alami, jadi aman,” kata ibu menjelaskan. Alfi hanya tersenyum sembari terus asyik mencicipi manisan itu.
”Bu, manisannya kan banyak sekali nih, mau kita apakan?” tanya Alfi.
”Ya untuk dimakan dong, Al,” jawab Ibu.
”Memangnya habis, Bu, sebanyak ini?” tanya Alfi lagi.
”Iya juga ya, Al, banyak sekali,” sahut ibu agak bingung.
”Mmm…. bagaimana kalau kita jual saja, Bu?” usul Alfi pada ibunya.
”Wah, ide bagus itu,” kata ibu menyetujui usul Alfi. Maka, hari itu juga Alfi dan ibu membungkus manisan pepaya tersebut untuk dijual.
Pada hari pertama berjualan, masih banyak yang belum tahu jika Alfi sedang berjualan manisan. Saat berjualan di kompleks perumahannya, Alfi ogah berteriak menawarkan dagangan karena malu. Akhirnya dagangannya pun tak laku.
Begitu juga saat di sekolah. Dia masih malu-malu untuk berpromosi kepada teman-teman dari kelas lain. Akhirnya yang membeli manisannya hanyalah teman-teman sekelasnya.
”Hufffi, ternyata berjualan tidak gampang ya,” keluh Alfi dalam hati. Dia kecapaian membawa termos berisi manisan-manisan tersebut. Apalagi ada anak-anak jahil yang suka mengejeknya dengan sebutan pedagang asongan karena ke sekolah membawa dagangan berupa manisan.
”Huh, itu pasti karena dia belum merasakan manisan buatan ibu,” begitu kata Alfi menghibur diri. Namun sepulang sekolah saat sedang berjalan melewati salah satu gang, Alfi dicegat oleh seorang ibu.
Ternyata ibu itu mengenal Alfi.
”Hai Nak Alfi, bawa apa?” tanya ibu itu.
”Bawa manisan, Tante. Mau coba? Enak sekali lo, dari gula asli tanpa pengawet dan pewarna buatan. Dijamin halal,” kata Alfi mempromosikan barang dagangannya.
Ibu itu tertawa mendengarnya. Diapun mencicipi manisan itu. Ternyata memang benar, rasa manisan itu berbeda dari manisan-manisan yang biasa dijual oleh abang tukang es.
”Ya sudah, kalau begitu Tante borong semua ya. Ada 100 bungkus tidak nih?” tanya ibu itu.
”Wah, yang benar Tante? Ada, ada tapi di rumah,” kata Alfi hampir tak percaya.
”lya, ini untuk arisan nanti,” jawab ibu itu. Alfi pun bergegas mengambil semua manisan yang tersisa di rumah. Dan jumlahnya pas, hanya sisa dua bungkus. Ah, tapi itu untuk bonus, begitu pikir Alfi. Dia pun segera mengantar manisan itu.
Begitu mendapat uang, Alfi segera berlari ke toko tempat boneka beruang dijual. Syukurlah, boneka itu masih ada. Alfi segera membelinya. Dia senang sekali bisa mendapatkan boneka dari hasil jerih payahnya sendiri.
Suara Merdeka, 5 Mei 2013