KETIKA TASYA HILANG
Oleh : Adi Zamzam
Ilustrator : Farid S. Madjid
Tema Cerita Anak : Indahnya pertemanan
”SYAMSA… Syamsa….” terdengar panggilan berulang-ulang dari luar. Namun tak juga terdengar sahutan dari dalam. Hingga beberapa menit berlalu. Baru kemudian seorang perempuan paruh baya menyambut. Menenteng belanjaan. Sepertinya baru pulang dari supermarket.
”Lo, Syamsa mana? Sudah lama ya, kalian?” ujar Bu Novi, ibu Syamsa. ”Sebentar, Tante carikan ya? Ayo, duduk dulu,” imbuh Bu Novi mempersilakan.
Ternyata Syamsa tengah tiduran menemani Tasya di pembaringan. Yang membuat Bu Novi heran, dari dalam kamar seharusnya Syamsa bisa mendengar panggilan teman-temannya. Namun dia tak menyahut.
”Katanya mereka sudah lama di luar, Nak. Kenapa tak kau temui?” tegur Bu Novi.
”Tadi aku sudah menemui mereka. Aku sudah bilang, Tasya sedang sakit. Salah sendiri kalau mereka tidak percaya,” jawab Syamsa sambil membetulkan
selimut Tasya.
”Kalau seperti itu, nanti kamu malah tidak punya teman,” nasihat Bu Novi sambil mengelus kepala anaknya.
”Teman? Teman sejatiku hanyalah Tasya!” sahut Syamsa dengan suara membentak.
Mendengar itu, Bu Novi menjadi sedih. Semua bermula dari cerita tiga hari lalu. Hari pertama di sekolah barunya, Syamsa mengalami hal yang menyakitkan hati. Menurut cerita Bu Fitri, guru Syamsa, saat itu Bu Fitri menyuruh Syamsa maju ke depan untuk menyelesaikan sebuah soal Matematika di papan tulis. Tersebab tulisan yang ketinggian, Syamsa mengulurkan tangan dengan susah payah demi menjangkaunya. Tak disangka, Syamsa kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh dari kursi rodanya. Bukannya segera menolong, seisi kelas justru menertawakan kesialan Syamsa.
Sejak kejadian itu Syamsa menjadi sering terlihat murung. Dia kehilangan gairah mengenal lingkungan barunya. Dia bahkan pernah berujar kepada ibunya, ingin kembali ke sekolah lama saja. Padahal itu jelas tidak bisa. Bu Novi sekeluarga harus ikut Pak Hendra, ayah Syamsa, yang dipindahtugaskan ke kota ini. Pak Hendra termasuk karyawan berprestasi dari sebuah perusahaan besar yang mulai mengembangkan cabang usaha di berbagai kota.
Lantaran tak mampu membujuk Syamsa, dengan sangat menyesal Bu Novi pun menyuruh teman-teman Syamsa pulang.
”Tasya Mama sembunyikan di mana?” tanya Syamsa dengan penuh kejengkelan. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya.
Kening Bu Novi langsung berkerut. ”Mama tidak tahu, Nak. Bukankah tadi pagi kau letakkan di atas meja belajar?”
”Mama sengaja menyembunyikannya, kan! Agar Syamsa tidak di rumah terus, agar Syamsa mau bergabung dengan mereka!” kata Syamsya ketus. Kedua matanya berkaca-kaca.
Bu Novi tak memedulikan kalimat-kalimat anaknya. Beliau langsung mencari keberadaan Tasya. Di kolong ranjang, di dalam lemari pakaian, di dalam laci meja belajar, di dapur, di dalam kamar mandi, di sesela boks televisi, di ruang tamu. Tapi yang dicari tak ditemukan. Bagaimana bisa hilang? Padahal Tasya hanya pisah dari sisi Syamsa saat dia ke sekolah. Apakah ada pencuri yang telah menyambangi rumah? Tapi mengapa hanya Tasya yang dicuri?
Pada saat Bu Novi duduk putus asa di ruang tamu, datanglah tiga gadis kecil yang membuat senyum beliau langsung mengembang.
”Iya benar, ini adalah boneka milik Syamsa. Bagaimana bisa kalian menemukannya?”
Salah seorang anak yang bernama Ranti kemudian menjelaskan. Tasya ditemukan Rinto, adiknya. Tasya digigit-gigit dan dijadikan mainan Doremi, anjing pudel kesayangan Rinto. Doremi memang hobi mencuri segala sesuatu, tak terkecuali boneka bahkan sepatu. Pantas saja tadi pagi Bu Novi seperti mendengar gonggongan kecil dari dalam kamar Syamsa yang terbuka pintunya.
”Karena kami tak tahu itu boneka milik siapa, makanya kami bertanya ke sini. Sebelumnya, saya minta maaf dengan ulah Doremi,” tutur Ranti.
”Terima kasih, telah menyelamatkan Tasya.” Semua mata langsung tertuju ke arah suara itu. Dengan kursi rodanya, Syamsa muncul dari balik kelambu menghampiri Ranti.
”Kau tak ingin main bersama kami? Kami juga punya boneka, lo,” suara Ranti menghentikan gerakan Syamsa yang sudah membalikkan arah kursi roda. Ranti dan teman-temannya berusaha membujuk Syamsa. Hati Syamsa akhirnya luluh juga. Dia mulai sadar, tidak semua teman sekelasnya berperangai buruk. Bu Novi memandangi mereka dengan perasaan lega.
Suara Pembaruan, 20130630