Kisah Dua Ulat dari Negeri Ulili
Karya : Moh Romadlon
Thema : Persahabatan dan tolong menolong
Di bawah terik siang, di atas batu besar, dua ulat kecil itu terus memaksakan diri untuk menyeret tubuh mereka. Keletihan sangat terlihat dari sorot mata kakak beradik itu. Mereka beringsut sedikit demi sedikit, sangat pelan dan hampir terlihat tak bergerak.
“Aku sudah tidak kuat lagi berjalan, Uda!” kata sang adik, Uti.
“Tahan sedikit lagi, Uti,” kata sang kakak, Uda.
“Tapi Uda, aku sangat haus dan letih,” potong Uti dengan suara kian samar. Keringat dingin mulai merembes di keningnya dan mukanya mulai memucat.
“Kita tidak mungkin berhenti di tengah panas begini. Bisa hangus tubuh kita. Saya kira tidak jauh dari sini ada sungai. Kita akan istirahat di sana sambil memakan daun dan minum air.”
Sebetulnya Uda hanya menghibur, karena ia sendiri tidak tahu apakah di depan sana betul ada sungai atau tidak. Bahkan, Uda tidak tahu sedang berada di mana sekarang. Kakak beradik itu betul-betul tersesat. “Bertahanlah.”
Tapi sebelum Uda benar-benar menyelesaikan ucapannya, ia melihat Uti yang berjalan di sampingnya mulai sempoyongan. Uda cepat merapat sebelum akhirnya Uti betul-betul tak sadarkan diri. Uda betul-betul khawatir dan bingung. Tidak tahu harus berbuat apa.
Kendati tubuhnya lebih besar, ia tidak mungkin sanggup menggendong tubuh Uti. Bahkan untuk menyeret pun rasanya sudah tak sanggup. Ia pun hanya menunggu sambil coba menyadarkan Uti. Untung saat itu ada sepotong awan kecil yang pas lewat di atas mereka membuat matahari tidak begitu terik dan terasa sedikit teduh.
Namun, Uda pun gelisah ketika dilihatnya awan tebal dari sebelah selatan terus berjalan ke utara, mendekat tepat di atasnya. Ia tidak tahu nasib diri dan adiknya kalau tiba-tiba hujan lebat turun. Tubuh kecil mereka pasti akan terseret air, terbawa entah ke mana. Sementara berpuluh detik lewat, tapi sang adik belum juga siuman. Uda hanya berharap Tuhan berkenan mengirimkan sang penolong.
Tanpa Uda dan Uti sadari, seekor burung prenjak yang bertengger di pohon tanpa daun dekat keduanya berada, sudah sejak tadi tertarik melihat keberadaan mereka. Lalu prenjak itu pun berjingkrak menuju sebuah dahan kering yang menjuntai tepat di atas batu itu. Dari situ ia mendengar dengan jelas percakapan mereka.
Saat salah satu mereka jatuh pingsan, sang prenjak sudah hampir nekad meloncat turun. Takut kalau malah membuat mereka ketakutan, ia pun urung. Tapi saat melihat awan tebal dari arah selatan ia teringat kata-kata sang raja semut pagi tadi. Sang raja semut mengingatkan bahwa kemungkinan besar hari ini akan turun hujan setelah tiga bulan kemarau panjang.
“Aku harus menolong mereka sebelum terlambat!” gumam prenjak sambil nekat meloncat turun.
Melihat kedatangan prenjak yang tiba-tiba, Uda terperenjak dan dengan cepat melindungi tubuh sang adik dengat mendekap kuat.
“Kalau kau memang menginginkan tubuh kami, makanlah aku, tapi mohon jangan makan adikku ini…” kata Uda dengan suara bergetar.
“Ini memang sulit dimengerti. Aku memang suka memangsa ulat-ulat seperti kalian, tapi aku datang bukan untuk itu. Aku datang ingin menolong kalian, kawan!”
“Betulkah…???”
“Tidak jauh dari sini ada sungai yang cukup besar, aku akan bawa kalian ke sana. Segera naik di kakiku. Biar adikmu itu kuletakkan di dalam bulu-buluku.”
Setelah itu prenjak melesat cepat. Ternyata benar, di ujung padang gersang itu terdapat sungai cukup besar di mana di sisi-sisinya banyak tumbuh rumput dan perdu-perdu segar. Dari batu itu sampai ke sungai bagi prenjak memang dekat, tapi bagi Uda dan Uti tentu merupakan jarak yang jauh, terlebih dalam kondisi yang teramat letih.
Sampai di tepi sungai, dibantu sang prenjak yang ternyata bernama Jako, Uda segera membasuhkan air seger ke tubuh Uti. Tak selang lama Uti pun siuman. Melihat sang prenjak, Uti yang baru sadar pun sekuat tenaga mendekap Uda dengan wajah begitu ketakutan.
“Jangan takut. Jako tidak akan memangsa kita. Bahkan dialah yang telah menolong kita. Kalau tidak ada dia, aku…”
“Jangan berkata begitu, kawan, semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa,” potong Jako. “Dan, bukanlah tugas kita untuk saling tolong-menolong…”
“Terima kasih, Jako!” ucap Uti yang dibalas anggukkan ringan Jako.
“Kalau boleh tahu dari mana asal kalian?”
“Kami adalah penduduk negeri Ulili,” terang Uda. “Kami tersesat, kalau dari sini kami tidak tahu di arah mana negeri kami berada.”
“Tenang, aku tahu negeri itu.” kata Jako. “Sungguh kalian beruntung bisa tinggal di negeri besar nan makmur itu. Baiklah akan aku antar kalian ke sana.”
“Apakah itu berarti Jako akan mengajak kami terbang?” kata Uti berbunga-bunga.
“Pengalaman yang luar biasa!”
“Sebaiknya kita segera terbang karena sepertinya sebentar lagi di sini akan turun hujan,” kata Jako.
Setelah merasa segar dan kenyang dengan beberapa potong daun kecil, dua ulat itu segera menempel kuat di dalam bulu-bulu lebat dekat cucuk Jako. Tak mau terguyur hujan Jako pun segera mengerahkan kekuatannya untuk melesat ke balik bukit kecil itu, tempat negeri Ulili berada. Sepanjang terbang, mata Uda dan Uti pun tidak berhenti mengintip pemandangan yang terlihat menakjubkan di lihat dari arah atas.
Tidak sampai setegah jam, mereka sampai di negeri Ulili. Di sana Jako baru tahu kalau Uda dan Uti adalah putra penguasa negeri Ulili. Betapa gembiranya sang raja dan premaisuri setelah tahu putranya kembali dengan selamat.
Kendati sebagai putra raja, Uda dan Uti lebih lebih suka berkelana dibandingkan dengan tinggal di istana. Mereka pun meneruskan kebiasaanya itu. Sekarang mereka tidak hanya melata berdua, tapi terbang bersama Jako. Bukan hanya berkelana, melainkan juga mencari siapa saja membutuhkan pertolongan. Sebab, bagi mereka tidak ada yang lebih membahagiakan selain membantu sesama.
Suara Merdeka, 12 April 2015