PUTRI PERMEN
Oleh : Nani Asmarani
Ilustrasi : Farid S. Madjib
Tema : Tentang pertemanan, persahabatan
Namanya Lani, namun di sekolah dia lebih dikenal dengan sebutan Putri Permen. Mau tahu mengapa? Karena dia sangat suka membagi-bagikan permen kepada teman-temannya. Setiap hari dia selalu membawa sekantong permen ke sekolah.
”Bu, mana permen-permen yang akan kubawa?” tanya Lani suatu pagi. Dia kebingungan karena tidak mendapati sekantong permen yang akan dibawa. Biasanya kantong plastik putih berisi permen sudah ada di dekat tas sekolahnya.
”Hari ini tidak ada permen lagi, Lan. Persediaan sudah habis. Nanti siang Ibu akan beli lagi di supermaket,” jawab ibu tak acuh.
”Ah, Ibu gimana, sih! Jika Lani tidak membawa permen pasti teman-teman Lani menjauh. Lani tidak punya teman lagi,” jawab Lani uring-uringan. Wajahnya merah, matanya berkaca-kaca.
”Lho, kamu bisa kan bisa tetap punya teman tanpa harus membawa permen?” kata ibu sambil memandang Lani. Rani cemberut mendengar komentar ibunya. Bulir air mata mulai berjatuhan di pipinya.
”Sudahlah! Ibu tidak sayang aku lagi,” sahut Lani sambil mengambil tas sekolahnya dengan kasar. Tanpa mengucap salam dia pun berlari ke luar.
***
”Hai Putri Permen, bagi permennya , dong!” Cici, Ita, Nunik, Rino dan beberapa siswa menyambut kedatangan Lani dengan gembira. Lani tidak menjawab. Dia menunduk. Dia sama sekali tak menatap wajah teman-temannya.
”Maaf, Teman, kali ini aku tidak membawa permen. Aku janji besok akan membawanya,” jawab Lani terbata-bata.
”Wah, nggak asyik kalau main sama kamu tanpa mengunyah permen!” komentar Rino.
”Iya, apalagi jika besok tidak membawa, kita cabut saja julukan Putri Permen darinya.” timpal Cici. Lani tak menghiraukan ocehan teman-temannya. Dalam hati dia menyalahkan ibunya yang tidak menyediakan permen untuknya. Kini dia dijauhi teman-temannya.
Pulang sekolah, wajah Lani masih terlihat kusut. Tanpa makan siang dia langsung menuju kamarnya. Dia benar-benar marah kepada ibunya.
”Lan, ayo makan siang dulu!” kata ibu mencoba membujuk Lani. Hening, tak ada jawaban. Ibu lalu menghampiri Lani yang sedang berbaring di tempat tidur. Sebuah bantal menutupi wajahnya. Sekali lagi ibu membujuknya untuk makan siang. Namun Lani tetap bergeming.
”Ayo, nanti makan siangmu keburu dingin. Ada bakwan udang kesukaanmu, lo!” bujuk ibu lagi.
”Tidak mau. Aku kesal sama Ibu. Gara-gara tidak membawa permen, teman-teman menjauhiku. Julukan Putri Permen juga akan hilang jika besok aku tidak membawa permen lagi,” jawab Lani dengan suara keras.
”Besok aku tak mau sekolah jika tak ada permen!” ancamnya. Ibu hanya memandang Lani. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu.
Esoknya, ibu masih belum juga menyediakan permen untuk Lani.
”Ibu memang benar-benar tidak sayang padaku!” teriak Lani lalu pergi sekolah tanpa pamit. Ibu memandang Lani dari jauh. Ibu memang sengaja tidak membekali Lani dengan permen supaya Lani mengerti bahwa untuk mempunyai teman tak seharusnya dengan cara itu.
”Hai, itu Putri Permen datang, ayo kita serbu!” teriak Rino. Dia berlari menghampiri Lani diikuti Cici dan Ita.
”Hai Putri, mana permen-permennya, bagi dong?” ujar Cici, Rino, dan Ita serempak. Lani tidak menjawab. Dia langsung masuk ke dalam kelas. Rino dan kedua temannya saling pandang. Mereka mengejar Lani ke kelas.
”Lani, kamu tidak bawa permen, ya? Itu artinya kamu tak mau bertemu lagi dengan kami. Dan kamu bukan lagi Putri Permen,” kata Ita berapi-api. Lani tetap diam. Matanya menatap serius puisi di kertas yang digenggamnya.
Hari itu Bu Irra, guru Bahasa Indonesia di kelasnya akan menilai kemampuan seluruh siswa dalam membaca puisi. Yang terbaik akan diikutsertakan dalam lomba membaca puisi antar sekolah. Keadaan kelas begitu hening ketika pembacaan puisi dimulai. Bu Irra menilai dengan seksama setiap siswa yang tampil. Lani mendapat tepukan riuh saat selesai membaca puisi. Bahkan ketika hasil penilaian diumumkan Lani yang terpilih sebagai pemenang. Wow, Lani merasa senang sekali. Dia dikerumuni teman-teman sekelasnya yang memberinya ucapan selamat.
”Selamat ,ya, Lani, bagus sekali caramu membaca puisi tadi!” kata Indah dan Tari. Lani tersipu dipuji seperti itu.
Sejak saat itu Lani semakin dikenal di sekolahnya. Temannya pun semakin banyak. Mereka ingin berteman dengan Lani buka karena Lani memberi mereka permen , tapi karena dia pandai membaca dan menulis puisi. Lani kini mengerti mengapa ibu tidak lagi membekalinya permen.
Suara Merdeka, 27 Januari 2013