Oleh : Agusniar Rizka L
Ilustrasi : Farid S. Madjid
Siang ini matahari bersinar terik. Didu duduk di sebuah ayunan taman kota sendirian. Dia sengaja bermain di luar rumah menghindari kejaran adiknya, Mira yang baru berusia 4 tahun. Semua orang sayang sama Mira. Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, tetangga, semua seolah selalu mengistimewakannya. Padahal, Mira sering kali merebut mainan Didu, merebut tempat tidur Didu, bantal Didu, mobil-mobilan Didu, makanan Didu, dan yang paling menyebalkan Didulah yang selalu disuruh mengalah dan menjaga adiknya itu.
Mira pun seolah selalu mengikuti ke mana pun Didu pergi dan apa pun yang dilakukannya. Lama kelamaan Didu menjadi jengkel. Dia teringat betapa senang Ciko si anak tunggal. Ketika sedang di rumah, Ciko bebas bermain PlayStasion sendiri. Ibunya selalu memperhatikannya. Mainannya banyak dan tak perlu berbagi. Sungguh senang jika tidak memiliki adik, pikir Didu.
”Didu….!” tiba-tiba seorang anak perempuan di seberang taman memanggilnya. Tangannya penuh membawa kantong plastik bewarna hitam. Rupanya anak itu adalah Alisa, teman sekelasnya. Didu pun berlari menghampiri Alisa.
”Hai, dari mana, Sa?” sapa Didu.
”Aku baru membeli es buah untuk diminum bersama-sama. Sedang apa kamu sendiri di taman, Du?” Tanya Alisa penasaran.
”Ah, tidak, aku bosan saja di rumah,” jawab Didu sekenanya.
”Oh, kalau begitu, ayo main ke rumahku sambil minum es buah,” ajak Alisa ramah.
”Boleh,” jawab Didu. Memang panas-panas begini enaknya minum es buah. Terlebih Didu sebenarnya telah merasa haus sejak tadi. Mereka pun berjalan beriringan hingga Alisa membuka pagar sebuah rumah besar.
”Ini rumah kamu?” tanya Didu sedikit terkejut. Dia tidak menyangka Alisa yang terlihat sederhana itu ternyata anak seorang dokter terkenal.
”Iya. Ayo masuk dulu,” balas Alisa. Halaman rumah Alisa cukup luas. Di dekat pagar terdapat papan nama seorang dokter spesialis anak.
Ketika memasuki teras, terdengar suara biola mengalunkan lagu ”Indonesia Pusaka”.
Di dalam rumah, Didu lebih terkejut lagi karena melihat empat orang anak kecil di rumah Alisa.
Suara biola yang tadi didengarnya ternyata berasal dari permainan biola seorang anak laki-laki seusianya. Setelah diamati ternyata anak itu tidak dapat melihat. Didu pun melihat di lantai terduduk seorang anak perempuan sedang mewarnai, namun anak itu tidak memiliki tangan kiri.
Alisa tersenyum melihat ekspresi Didu yang terdiam seribu bahasa.
”Kenalkan, mereka semua adik-adikku,” ucap Alisa mencoba menyadarkan Didu dari keterkejutannya.
Usia adik-adik Alisa rupanya tidak berselang jauh.
”Sebenarnya mereka bukan adik kandungku. Anak kandung Bundaku ya cuma satu yaitu aku,” kata Alisa sambil tersenyum ramah menatap Didu.
”Sedang adik-adikku ini… adalah saudara-saudara angkatku. Sini kuperkenalkan,” lanjut Alisa.
Dia kemudian memanggil adik-adiknya untuk minum es buah bersama. Mereka berkumpul di meja tengah, sedang Alisa menyajikan es buah dengan mangkuk-mangkuk aneka warna. Sembari menyajikan minuman segar itu, Alisa memperkenalkan Didu kepada adik-adiknya.
”Ini teman Kak Alisa, namanya Kak Didu. Kak Didu ini ingin bermain bersama kita hari ini.” Alisa berbicara dengan nada ceria kepada adik-adiknya. Mereka terlihat sangat senang dengan kehadiran Didu.
Hari itu Alisa bercerita kalau ayah Alisa sering bertemu anak-anak yang kurang beruntung ketika sedang bertugas atau di jalanan. Saat makan malam, ayah Alisa sering kali menceritakan perihal anak-anak itu kepada Alisa dan Bundanya. Mendengar cerita ayahnya, Alisa merasa sangat beruntung masih memiliki orang tua, sekaligus merasa iba karena anak-anak yang ayahnya temui itu pada akhirnya harus tinggal di panti asuhan. Alisa yang kesepian karena tidak memiliki saudara pun mengusulkan agar ayah mengangkat mereka sebagai anak saja. Namun ayahnya tidak langsung mengambil keputusan. Ayahnya justru menerangkan kewajiban-kewajiban Alisa bila kelak menjadi kakak dari mereka.
Ayahnya saat itu berkata, untuk menjadi seorang kakak, Alisa harus mandiri dan juga harus bersabar. Akhirnya Alisa berjanji dan menunjukkan pada ayahnya kalau ia sanggup menjadi kakak yang baik dan menyayangi saudara-saudara angkatnya seperti adik kandungnya sendiri. Setelah itu ayah Alisa mengadopsi Rozak.
Rozak adalah anak lelaki berusia 10 tahun yang pintar bermain biola. Rozak diadopsi ayahnya ketika berusia 7 tahun. Rozak adalah anak terlantar dan sebatangkara. Kerabatnya tidak dapat memberikan perawatan yang layak karena kondisi Rozak yang berbeda dari anak-anak lainnya. Rozak buta sejak lahir dan menderita lemah jantung. Atas persetujuan Alisa, ayahnya mengadopsi dia. Sebagai dokter, ayah Alisa memang lebih mampu merawat Rozak.
”Lihat, ternyata Rozak sangat berbakat bermain alat musik. Kemarin Rozak baru saja pentas bermain biola,” ucap Alisa bangga.
”Sedangkan Lala yang pertumbuhan tangan kirinya tidak sempurna itu, ternyata suka sekali menggambar. Lala diadopsi ayahku dari pengemis jalanan. Dulu badannya kurus, dan sering sakit, sekarang Lala lincah dan pandai kan?” lanjut Alisa.
Mata Didu seketika itu berkaca-kaca. Dia teringat Mira, adiknya. Dulu Didu juga sangat gembira dengan kehadiran Mira yang lucu. Miralah yang menemani Didu bermain ketika Didu kesepian. Mira yang selalu membanggakan Didu di depan teman dan keluarganya. Didu merasa bersalah karena sempat membenci Mira. Alisa menyadari perubahan mimik wajah Didu.
”Kamu kenapa, Du?” tanya Alisa semakin heran melihat mata Didu berkaca-kaca.
”Nggak apa-apa, Sa. Aku hanya teringat adikku. Tadi dia menangis karena kutinggalkan. Aku ingin segera bermain bersamanya lagi. Aku pamit dulu ya, Sa,” jawab Didu jujur.
”Ya sudah, lain kali main ke sini lagi ya Du,” pinta Alisa.
”Iya, aku pasti main ke sini lagi, Sa. Terima kasih banyak ya….” balas Didu. Dalam hati dia kagum pada Alisa yang selama ini dipandangnya sebagai anak pintar saja.
Ternyata Alisa juga memiliki kebesaran hati untuk merawat adik-adik yang bukan adik kandungnya. Setelah berpamitan, Alisa dan adik-adiknya mengantarkan Didu hingga ke depan rumah. Mereka sangat hangat dan bersahabat. Didu menjadi semakin rindu kepada Mira.
Sesampai di rumah Didu segera menuju ke kamar Mira. Ternyata Mira tengah tertidur dengan kompres melekat di dahinya. Rupanya Mira demam, pantas saja dari tadi merengek sambil mengikuti Didu. Didu segera mengganti kompres Mira yang sudah mulai hangat.
”Mira, cepat sembuh ya.. Nanti bermain lagi sama Kak Didu,” kata Didu tulus.
Ibu yang berdiri di belakang Didu pun tersenyum melihat perubahan sikap Didu. Diusapnya kepala Didu. ”Terima kasih ya sayang… Didu sudah menjadi kakak yang baik dan penyabar, Bunda bangga pada Didu,” kata Bunda.
Matahari sore itu tenggelam dengan sangat indah mengiringi kelegaan di hati Didu. Mulai saat ini Didu berjanji dalam hati ingin menjadi kakak terbaik bagi Mira. (69)
Suara Merdeka, 18 Mei 2014