Ketika Ibu Mogok Cerewet
Oleh : Ana Lydia
Ilustrasi : Farid S. Madjid
“Lukas, tasmu jangan kamu lemparkan ke kursi! Jangan lupa juga simpan sepatumu di lemari sepatu!” teriak ibu dari dapur begitu Lukas baru saja menyandarkan tubuh di kursi.
Lukas urung melempar tas ke kursi. Ugh, ibu membuat siang yang panas dan gerah semakin menambah panas hati Lukas dengan teriakannya yang selalu melarang dan menyuruh ini-itu. Setahu Lukas, ibu teman-temannya tidak ada yang secerewet ibu.
”Lukas…!” teriak Ibu lagi.
”Iya, Bu, iya. Lukas heran deh, setiap hari Ibu selalu saja mengomel dan melarang ini-itu. Ibu teman-teman Lukas juga nggak ada yang secerewet Ibu,” gerutu Lukas, menyela kata-kata Ibu seraya bangkit begitu melihat Ibu muncul di ambang pintu.
Ibu menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala. Lukas memang sulit diatur, sembrono, dan pemalas, sehingga kerap membuat Ibu kesal. Entah bagaimana lagi agar Lukas berubah. Padahal, Ibu melakukan untuk kebaikannya juga. Tapi Lukas selalu menganggap Ibu cerewet. Sepertinya Lukas harus kena batunya dulu agar sadar, batin Ibu.
****
Seperti biasa, Lukas selalu sibuk bila hendak pergi sekolah.
”Ibu, kaus kakiku di mana?” tanya Lukas berteriak.
”Kemarin kamu simpan di mana?” Ibu balik bertanya seraya menyiapkan sarapan pagi. Tapi, Ibu tidak mengomel dan tidak ikut sibuk mencari seperti biasa.
”Sudah aku…,” Lukas tidak melanjutkan katakatanya.
Seingatnya, dirinya melempar sepatu dan kaus kaki begitu saja di bawah tangga. Lukas segera mencarinya dan benar, kaus kaki tergeletak di sana, namun yang sebelah lagi entah ke mana. Waktu Lukas jadi tersita untuk mencarinya.
”Kak Lukas mencari apa?” tanya Ribka, sang adik yang telah rapi dengan seragam dan tas sekolah.
”Kamu lihat kaus kaki Kakak?”
”Kemarin Ribka lihat Snowy sedang menggigiti sesuatu… Jangan-jangan itu kaus kaki Kakak. Apa yang bagian jarinya berwarna biru itu, Kak?”
”Iya, benar. Sekarang di mana?”
Ribka menggelengkan kepala dan bergegas menuju ruang makan karena ibu memanggilnya untuk sarapan.
Lukas cemberut sembari meggerutu. Terpaksa dia memakai kaus kaki yang lain karena tidak ada lagi waktu untuk mencari. Apalagi hari ini dia tidak mau dihukum karena terlambat. ”Hmmm… Snowy memang keterlaluan, senang menggigiti kaus kaki sampai berlubang. Apa Snowy pikir kaus kaki adalah tulang!” batin Lukas. Mungkin karena itu, Ibu selalu marah bila Lukas tidak menyimpan sepatu dan kaus kaki di lemari sepatu.
****
”Lukas, bolehkah aku melihat tugas prakaryamu? Kalau aku sih membuat gerobak dorong dari kayu,” tanya Bimo sambil memperlihatkan hasil karyanya ketika Lukas baru saja menaruh tas di bawah meja.
Lukas tersentak. Minggu lalu Pak Gondo memberi tugas membuat keterampilan dari kayu dan dia tidak ingat sama sekali. Bagaimana mungkin dirinya bisa lupa? Biasanya Ibu selalu mengingatkan. Wajah Lukas pucat seketika dan tertunduk lemas. Terbayang sudah di matanya hukuman apa yang akan diterima.
Selama ini, Lukas selalu dijadikan contoh sebagai murid yang rajin dan disiplin. Tapi dalam minggu ini, dia sudah dua kali lalai mengerjakan tugas sekolah. Alangkah malu saat dia harus berdiri di muka kelas.
”Mau disembunyikan di mana muka ini?” batin Lukas.
****
”Ibu, aku tidak menemukan pensil warnaku, apa Ibu melihatnya?” Lukas menatap ibu dengan harap-harap cemas. Dua bola matanya tampak berkaca-kaca. Lukas berusaha menahan tangis. Hari ini ada pelajaran menggambar dan Ibu Rasti menyuruh para siswa membawa pensil warna. Lukas tidak mau dimarahi di depan teman-teman sekelasnya bila tidak membawa pensil warna.
”Mana Ibu tahu. Kamu sendiri tidak suka kalau Ibu mengingatkanmu agar meletakkan dan menyimpan barang-barang yang sudah dipakai di tempatnya, kan?”
”Iya, tapi hari ini ada pelajaran menggambar dan harus menggunakan pensil warna,” ujar Lukas
dengan suara lirih.
”Pinjam saja milik temanmu.”
Lukas terdiam. Ibu sama sekali tidak membantunya mencari. Jika tidak segera ke sekolah, dia bisa terlambat. Lukas pergi ke sekolah tanpa semangat. Tanpa pensil warna miliknya, mana mungkin hasil gambarnya akan memuaskan. Pensil warnanya adalah pensil warna yang bagus, hadiah dari Om Yosef saat pergi ke luar negeri. Pasti harganya juga mahal. Lagi pula, meminjam milik teman tidak mungkin sebebas menggunakan milik sendiri. Lukas mendesah sedih. Menyesali sikapnya yang sembrono dan pelupa. Mungkin karena itu Ibu selalu mengingatkannya, selalu cerewet padanya.
Sejak mengatakan Ibu cerewet tidak seperti ibu teman-temannya, Ibu tidak lagi melarang dan memerintah ini-itu. Ibu tidak pernah mengingatkannya untuk belajar atau menanyakan apa ia sudah mengerjakan PR atau belum? Ibu tidak lagi mengingatkannya untuk mengecek ulang peralatan sekolah yang harus dia bawa atau menanyakan ada tugas apa dari sekolah dan lain-lain. Ibu juga tidak pernah berteriak atau marah ketika dirinya tidak menyimpan tas, sepatu atau barang-barang yang sudah dipakai pada tempatnya. Semula Lukas senang tidak mendengar teriakan, larangan, dan omelan Ibu yang seperti petasan itu. Tapi, gara-gara Ibu tidak cerewet lagi, hari-hari Lukas menjadi kacau. Semua tidak berjalan dengan baik. Ternyata, Ibu melakukan semua itu karena tahu yang terbaik untuknya.
Lukas menyesal, sangat menyesal. Pulang sekolah nanti Lukas akan meminta maaf pada Ibu dan memeluknya. Lukas hanya ingin Ibu yang dulu. Ibu yang cerewet, yang melakukan yang terbaik untuknya.(75)
Suara Merdeka, 30 Maret 2014