Pendidikan bukan satu-satunya faktor meraih kesuksesan. Ketekunan,kerja keras, dan rajin berdoa adalah kunci dalam sebuah keberhasilan. Itu dikatakan Dayat Supriatna, perajin patung yang telah mengikuti pameran di berbagai negara melalui usaha kerajinan patung yang menggunakan nama Reret Art Shop. Kesuksesannya bisa dinikmati anak dan cucunya.
KAKEK tiga cucu ini telah mewariskan usaha rumahan kepada dua anaknya, Asep dan Uus. Mereka yang meneruskan usaha patung dan sandal selop etnik dan pajangan bentuk hewan ternak. Semua produk Dayat berbahan dasar kayu mahoni. Usaha Dayat ini berawal dari desakan ekonomi yang membuat Dayat tidak bisa melanjutkan sekolah selepas SD. Lantas dia belajar mematung di sebuah pabrik yang berjarak 7 kilometer dari rumahnya,di Jalan Raya Bandung-Sumedang Km 19 No 26, Kampung Bojongeureun Kaler, Desa Cibeusi, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Bandung, Jawa Barat.
Dari pabrik patung itulah kisah seniman Dayat dimulai hingga mencapai kesuksesan dan dapat memamerkan karyanya di Yerusalem, Turki dan Singapura. Atas karyanya itu Dayat dianugerahi gelar Doktor Honouris Causa (Dr HC) oleh Pemerintah Yerusalem karena merupakan salah satu peserta pameran yang mendapatkan penjualan tertinggi selama tiga bulan pameran digelar. Setelah menyandang gelar kehormatan, Dayat sering diundang sebagai motivator bagi pelaku usaha kecil menengah (UKM) di berbagai daerah. Pengalamannya berbisnis usaha patung hingga bisa berpameran ke luar negeri tanpa mengeluarkan uang itu yang menjadi kekuatan materi yang dibagikan kepada pebisnis pemula. “Ini semua karena niatnya satu. Saya ingin menyekolahkan adik-adik saya agar nasibnya tidak seperti saya yang putus sekolah dan membantu orangtua. itu saja” ujar Dayat Supriatna saat ditemui di Blok A Gedung Jakarta Conventional Center, Senayan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Dua tahun tak digaji
Perjuangan Dayat dalam merintis usaha begitu mengharukan. Perkenalannya dengan seni patung itu berawal dari putus sekolah karena tidak ada biaya. Almarhum Atang Sapta, ayah Dayat, merupakan sesepuh kampung yang mengajar agama di lingkungannya. tanpa memiliki penghasilan tetap. Padahal sang ayah memiliki delapan anak. Maka Dayat, anak ketiga dari delapan bersaudara itu, bekerja sebagai buruh pabrik pada tahun 1966 sebagai tukang ampelas patung. Dayat berangkat dari rumah menuju pabrik berjalan kaki sepanjang 7 kilometer. Sebagai kuli ampelas kayu dia mengaku tidak digaji selama 2 tahun dengan alasan masih belajar bekerja. Cucuran keringatnya itu hanya ditebus dengan sepiring nasi dan lauk secukupnya sebagai makan siang.
Meski demikian, Dayat menjalani kegiatan itu sambil memerhatikan cara mengerjakan patung dari awal sampai akhir. “Itung-itung belajar dulu karena kalau sekolah begitu biayanya enggak murah. Jadi hanya diberi makan siang saja sudah syukur” ujar Dayat dengan logat khas Bandung. Aktivitas sebagai buruh pabrik terus berjalan dan kegiatan yang dijalani Dayat semakin bertambah. hingga menjadi tukang ukir. Sepulang dari pabrik dia berinisiatif membuat patung di rumah yang bahan bakunya dibeli sendiri. Penggarapan ini yang menjadi cikal bakal usaha Reret yang berdiri sampai sekarang.
Memasuki tahun 1968. Dayat mulai menikmati hasil pertama dengan upah sebesar Rp 150/bulan atau setara dengan 6 gram emas. Dia pun membeli kayu mahoni untuk bahan baku dan sisanya diserahkan kepada orangtua untuk kebutuhan hidup sehan-hari. Hasil karya di rumahnya itu dijual sendiri. “Saya hanya lihat teman-teman saat bekerja di pabrik saja. Tahapannya bagaimana dan itu yang saya lakukan di rumah.” tuturnya.
Pertama kali Dayat membuat asbak kayu karena lebih gampang membuatnya. Dayat menjual produk buatannya dengan mengasong di tempat keramaian Alun-alun Bandung pada malam hari. Satu asbak yang dibuatnya itu dijual seharga Rp 150. Selain asbak, Dayat juga membuat bingkai kayu unik. “Lumayan, dulu itu bisa tiga asbak yang laku. Jadi sekali keliling bisa dapat uang satu bulan gaji kuli,” ujarnya.
Kegiatan membuat patung dan menjual sendiri itu mendatangkan keuntungan luar biasa. Dalam satu minggu, hasil penjualan asbak dan bingkai yang dibuatnya itu sudah bisa mencapai tiga kali lipat gaji yang biasa diterima sebagai buruh pabrik.
Merasa sudah cukup mapan. pada tahun 1974 dirinya memutuskan menikah dengan Sumiyati. gadis pilihannya. Dua tahun setelah menikah dirinya memutuskan mundur dari pabrik. Saat itu dia sudah memiliki seorang anak. Dayat pun memperluas usahanya dengan meminjam uang Rp 20.000 ke BRI dengan cicilan selama I tahun untuk modal usahanya sendiri dengan mempekerjakan dua orang warga setempat. Kedua pekerjanya itu dilatih sendiri sampai akhirnya bisa membuat patung. Kedua pekerja itu mendapat upah masing-masing Rp 500 per bulan.
Keliling jual patung
Kegiatan memroduksi ukiran asbak dan patung ini terus berjalan. Pagi hari dia mengerjakan patung dan malam hari membawa produknya itu berkeliling di kawasan tempat hiburan. seperti Alun-alun Bandung, Pasar Braga. Dayat membawa beberapa patung dengan kain sarung yang kemudian dijinjing di pundaknya. Dia berjalan kaki sambil menawarkan dua patung yang dipegang di tangan kanan kirinya. Dayat menawarkan patung beragam motif ini seharga Rp 70.000 per buah.
Semakin lama perolehan dagangnya semakin menipis, sementara stok barang di rumahnya menumpuk. Karena dua pekerjanya tidak berhenti berproduksi sedangkan tenaga pemasaran dilakukan Dayat sendiri. Tidak kehilangan akal, akhirnya Dayat membawa barangnya ke Tanjung Karang, Lampung. ide menjajakan dagangannya ke luar Pulau Jawa itu karena bisikan temannya.
Empat tahun Dayat menjalani kegiatan sebagai Pedagang asongan patung berkeliling dari rumah ke rumah. Pada tahun 1986 sampai 1990 dia sudah menjelajahi beberapa daerah seperti Tanjung Karang. Lampung; Pangkal Pinang, Bangka Belitung; Palembang,Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarnegara dan terakhir Jakarta. “Saya pedagang asongan patung pertama.” ujarnya.
Perjalanan merantau sambil membawa patung itu dilakukan sendiri tanpa teman. Biasanya. sampai di lokasi Dayat mencari tempat atau kamar yang bisa disinggahi untuk istirahat malam. Lokasi yang dipilih itu tidak jauh dari pusat keramaian. Sekali jalan. Dayat membawa 10-15 patung yang diikat kain dan dibawa di bahunnya. Beragam patung itu ditawarkan dengan berjalan kaki dari satu kampung menembus kampung lainnya. Jika letih, dirinya beristirahat di masjid atau mushola hanya sekadar melepas lelah.
Pukul 07.00 pagi. Dayat sudah berangkat dari rumah sewaannya menuju kampung dan sore pulang. Hasil dagangannya itu tidak menentu, hanya saja patung yang dibawanya itu habis dalam waktu dua minggu. “Kalau sudah habis saya pulang bawa hasil. Dan istirahat beberapa hari lalu berangkat lagi” ujarnya (nir)
Bertemu Anggota DPR dan disangka Teroris
JAKARTA bak magnet yang menarik orang mendekat. Dayat pun tertarik magnet Jakarta setelah berkelana ke berbagai tempat di lndonesia. Namun, tidak disangka di kota terakhir ini yang menjadikan derajat Dayat meningkat drastis. Dayat mendadak kaya atau istilah anak sekarang OKB (orang kaya baru) dari pedagang patung keliling menjadi bos patung yang memiliki 35 orang pekerja.
Itu semua setelah dirinya bertemu dengan almarhum Ir Tati Sumiarno, mantan anggota DPR-RI periode 1970-1980. Anggota dewan asal Garut ini membidangi pedagang kecil. Dayat ditawarkan menjadi perajin binaan Tati. Dayat masih ingat hari pertemuan itu. Dayat berdiri tegak di pinggir jalan di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Pikirannya sedang menerawang karena hingga lewat tengah hari belum satu pun patung yang terjual.
Tiba-tiba sebuah Kijang berhenti persis di hadapannya. Perempuan pemilik mobil pun meminta Dayat masuk ke dalam mobilnya. “Ayo Mang, ikut saya. Nanti ngobrolnya di dalam saja” ajak ibu itu. Keberuntungan terus menghampiri diri Dayat. Tahun 1994, Dayat diajak oleh Tati mengikuti pameran di Jerman selama enam bulan. Akan tetapi dia tidak ikut ke negara itu lantaran memiliki istri dan tiga orang anak. Akhirnya, hanya ukiran Dayat yang berangkat ke Jerman. Rupanya karyanya menarik hati seorang pria Jerman bernama Erik. Pada tahun itu iuga, Dayat mengalami guncangan karena Tati terkena kanker ganas. Meski sudah dirawat di Jerman dan Jepang. namun penyakitnya tak kunjung sembuh hingga akhirnya Tati mengembuskan napas terakhir di RS Gatot Subroto Jakarta.
Ternyata ada Erik yang mengajaknya pameran ke Yerusalem. “Seperempat kontainer barang saat itu langsung dikirim ke Yerusalem.” ujarnya. Saat berangkat ke Israel, dia sempat disangka teroris di Bangkok. Penyebabnya Dayat membawa peralatan ukir, pisau dan kamera. Karena terkendala bahasa, Dayat sempat mendekam di tahanan dari pukul 20.00 sampai 03.00 esok harinya. Beruntung dia dibekali surat sakti dari Wali Kota Yerusalem. “Begitu saya buka tas dan serahkan surat itu. Petugas yang menahan saya langsung minta maaf dan mengantar saya sampai ke pesawat.” ujarnya. Sampailah Dayat di Yarussaiem dan disambut oleh panitia pameran. Saat pameran produk ukirannya ini banyak dikagumi pengunjung. Saking larisnya, pengunjung pameran antre di depan stannya. Dan ukiran setengah jadi pun sudah diambil.
“Semuanya rebutan untuk mendapat ukiran Indonesia. Antre banget, sampai talenan ukiran saja dibeli sama orang sana.” ujarnya. [nir]
Sumber : Warta Kota edisi 27 Januari 2013