Oleh : Mugi Artiningsih
Ilustrator : Kak Jo
Thema Cerita Anak (Cernak) :
- Nasionalisme, semangat perjuangan, kejujuran
”Bu, hari Jumat depan buatkan surat izin ya. Ifan nggak masuk sekolah,” kata Ifan sepulang sekolah.
”Lho, bukannya Kamis depan sudah libur?” tanya Ibu.
”Ah, Ibu ini. Masa lupa sih. Kamis depan kan tanggal 17 Agustus dan Ifan harus ikut upacara bendera di lapangan kecamatan. Tadi Pak Romi sudah mengumumkan bahwa siswa kelas IV, V, dan VI wajib mengikuti upacara,” kata Ifan menjelaskan.
”Owalah, ada upacara tujuh belasan to,” kata Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Tapi Kamis depan kan kita tidak ada acara keluarga, kamu juga sehat walafiat,” lanjut Ibu
”Ya pakai alasan apa lah, Bu, supaya Ifan nggak masuk sekolah Kamis besok,” sambung Ifan.
”Ingat kan, kita tidak boleh bohong?” Ibu mengingatkan.
”Kalau begitu malam Kamis besok Ifan tidur di tempat Kakek deh, jadi Ibu tidak perlu bohong. Alasannya ada kepentingan keluarga, Ifan harus menemani Kakek. Buatkan ya, Bu? Please…Ibu baik deh,” bujuk Ifan.
”Ya, kita lihat saja besok. Kan masih sepekan lagi sebelum tanggal 17. Ngomong-ngomong soal Kakek, tadi Budhe Nani mampir sebentar dan menitipkan sesuatu untuk Kakek. Tolong nanti Ifan antar ke rumah Kakek, ya? Soalnya tadi Budhe buru-buru jadi tidak sempat ke rumah Kakek,” pinta Ibu.
”Oke, Bu. Siap! Sekalian Ifan minta izin kakek untuk tidur di sana malam Kamis besok,” kata Ifan bersemangat.
Ifan segera mengayuh sepedanya menuju rumah Kakek. Rumah kakek berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah Ifan. Tentu saja Ifan berani ke sana sendiri. Apalagi Ifan sudah lumayan besar, sudah kelas V SD.
”Assalamualaikum.” seru Ifan begitu sampai di rumah Kakek.
”Waalaikumsalam.” Tante Widya yang sedang menyapu di teras pun menjawab salam Ifan. Tante Widya adalah adik Ibu yang paling bungsu. Dia tinggal bersama Kakek.
”Hei, Fan. Tumben ke sini sendiri. Mas Afan dan Dhek Izzah kok tidak ikut?” tanya Tante Widya.
”Iya, Tant,” Ifan memang memanggil tante kesayangannya ini dengan istilah ‘tant’, maksudanya kependekan dari kata ‘tante’. ”Mas Afan belum pulang sekolah. Dhek Izzah sedang tidur siang,” lanjut Ifan sambil memarkir sepedanya.
”Ini Tant, Ifan disuruh Ibu mengantarkan titipan dari Budhe Nani. Kata ibu, tadi Budhe Nani datang tapi tidak sempat mampir ke sini,” jelas Ifan sambil menyalami tantenya dan kemudian menyerahkan titipan dari Budhe Nani.
”Lo, Mbak Nani datang to, jam berapa?” tanya Tante Widya.
”Nggak tahu, Tant. Ifan juga nggak ketemu, dan Ifan juga lupa tanya pada Ibu he he he. Oya Tant, Kakek di mana?”
”Itu, sedang duduk di ruang tengah.”
Ifan pun segera menemui Kakek. Di ruang tengah, tampak Kakek sedang duduk sambil membaca koran. Meski Kakek sudah tua, tetapi badannya masih tampak segar dan sehat. Kakek juga tidak pikun seperti kebanyakan manula lain.
”Assalamualaikum, Kek,” sapa Ifan.
”Waalaikumsalam,” jawab Kakek sambil menoleh ke arah sumber suara.
”Ifan?” lanjut Kakek memastikan sambil membetulkan letak kacamatanya.
”Iya, Kek, ini Ifan,” Ifan mencium tangan kakeknya dan kemudian duduk di sebelahnya.
”Kek, malam Kamis depan Ifan menginap di sini ya?” Ifan langsung mengutarakan maksudnya.
”Tentu saja boleh. Kakek malah senang. Sekalian ajak kakak dan adikmu juga. Sekarang sudah mulai liburan sekolah ya?” Kakek balik bertanya.
”Belum, Kek. Senin besok baru mulai libur,” jawab Ifan.
”Kenapa tidak mulai Senin saja tidur di sini?”
”He he he hari Kamis ada upacara tujuh belasan dan Ifan malas berangkat. Makanya Ifan mau menginap di sini saja,” jelas Ifan.
”Upacara tujuh belasan?” Kakek terdiam sejenak.
”Kenapa kamu malas ikut upacara? Badanmu kan masih kuat. Kakek malah ingin sekali mengikuti upacara kemerdekaan lagi. Sayang Kakek sudah tidak kuat berdiri lama,” lanjut Kakek.
”Malas, Kek, panas. Apalagi ini bulan puasa, lemas. Tahun kemarin saja beberapa teman Ifan sampai jatuh pingsan,” Ifan memberi alasan.
”Anak zaman sekarang…” kata Kakek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Padahal sudah hidup enak dan merdeka, tapi disuruh mengikuti upacara kemerdekaan saja malas. Bung Karno dan Bung Hatta juga merumuskan proklamasi sambil berpuasa.”
Ifan hanya diam mendengar cerita Kakek tentang proklamator Indonesia itu.
”Waktu muda, Kakek dan teman-teman Kakek menghabiskan sebagian hidup di medan perang. Sekarang, siang hari kalian sibuk sekolah dan malam harinya belajar atau nonton TV. Zaman Kakek dulu, jangankan tidur siang, malam hari pun tidak bisa tidur nyenyak. Perang mewajibkan Kakek siaga setiap waktu. Dan lihat ini,” kata Kakek sambil menunjukkan bekas luka di kakinya.
”Kenapa itu, Kek?” tanya Ifan.
”Dulu ini bekas luka tembak tentara Nippon,” jawab Kakek. Kakek menggunakan istilah tentara Nippon untuk menyebut serdadu-serdadu perang Jepang.
”Pantas saja jalan Kakek agak pincang,” batin Ifan. Hatinya takjub mendengar kisah perjuangan kakeknya dahulu.
”Kakek masih beruntung. Masih ingat Kakek Cipto? Kaki kanannya patah oleh sebab yang sama.”
Ifan mengangguk. Kakek Cipto adalah tetangga jauh Ifan yang sudah meninggal. Sebelah kakinya memang patah sehingga harus mengenakan tongkat kayu untuk berjalan.
”Beruntung Kakek dan Cipto masih bisa merasakan zaman kemerdekaan. Rekan-rekan kami yang gugur tak terhitung jumlahnya. Tapi meski tak sempat menikmati kemerdekaan, Kakek yakin, mereka yang sudah meninggal pasti senang karena perjuangannya telah berhasil,” mata Kakek menerawang jauh ketika menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Kisah Kakek benar-benar meresap di hati Ifan. Dia bersyukur karena tumbuh besar di masa sekarang yang sudah merdeka. Ifan membayangkan seandainya dia hidup di zaman perang seperti Kakek. Pasti dia tidak bebas bermain ataupun bersepeda seperti siang ini. Dia pun tidak bisa bermain bola bersama Mas Afan seperti yang biasa mereka lakukan setiap sore. Ifan ngeri membayangkan lebih jauh lagi.
”Bu, Ifan tidak jadi izin hari Kamis besok,” kata Ifan pada Ibu begitu sampai di rumah.
”Yakin?” tanya Ibu meyakinkan keputusan Ifan.
”Iya dong, Bu. Ifan mau berangkat paling awal hari Kamis depan,” jawab Ifan tegas. Ibu pun tersenyum mendengar jawaban Ifan.
Suara Merdeka, 20120826