Kejujuran dan Kerja keras yang membuat Sumarno (40) bisa tersenyum lebar saat ini. Mantan kuli proyek ini punya penghasilan Rp 20 Juta per bulan berkat bisnis furnitur berbahan jati yang digelutinya.
SUMARNO memproduksi aneka mebel berbahan kayu jati, seperti lemari, ranjang, kursi tamu, meja makan, sofa, dan kitchen set. Memasang bendera Jati Kencana, dia membuka usahanya dengan menyewa lahan di Jalan Raya Sukahati RT 06/03 Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Material utama produksinya itu dikirim dari Jepara, Jawa Tengah. Usahanya tak pernah sepi order. Minimal, omzetnya mencapai Rp 3O juta per bulan. ”Semula saya deg-degan takut enggak bisa jalankan usaha ini. Tapi pasrah aja karena ini keinginan kakak. Yah saya jalan aja,” ujar Sumarno saat ditemui Warta Kota di tempat produksi mebelnya, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Pria itu mengatakan, usaha yang sudah dijalankan secara mandiri selama empat tahun itu, karena didukung kakaknya, Yadi. Kakaknya yang membuka jalan untuk masuk ke industri furnitur. Sebelumnya, lelaki yang akrab disapa Marno itu hanya pekerja proyek di satu perusahaan kontraktor di Jakarta. Marno bertugas sebagai tukang kayu selama delapan tahun yang menangani perbaikan dan pembuatan kusen pintu dan jendela.
Marantau ke Jakarta
Marno berasal dari K1aten. Jawa Tengah. Pada Maret 2000, Marno menikah dengan kekasihnya Sumi, yang juga sama-sama asal Klaten. Setelah menikah, Sumi diajak merantau ke Jakarta. Kurang dari setahun di Jakarta, Sumi ingin kembali ke kampung halamannya karena ingin melahirkan buah cintanya dengan Marno di Klaten.
Demi sang istri, Marno ikut pulang kampung dan meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Setelah kelahiran anak pertamanya. Marno betah tinggal di kampung, dan enggan kembali ke Jakarta. Saat itu, dia bekerja sebagai tukang kayu—ketrampilan yang sudah dilakukannya sejak usia 15 tahun. Keterampian mengolah kayu mentah pria lulusan SMP ini banyak dicari orang. Dia kerap diminta untuk merenovasi rumah atau membangun rumah. Ada juga yang meminta Marno untuk dibuatkan lemari pakaian.
“Yang namanya tukang kayu itu banyak dicari orang. Enggak sulit mencari uang zaman itu, karena kita dicari orang,” ujarnya.
Hampir enam tahun Marno hidup tenang di desa. Namun kakaknya, Yadi, memaksanya kembali ke Jakarta untuk membantu usaha kayu jati miliknya. Yadi sangat paham bahwa Marno terampil mengolah kayu. Yadi memintanya untuk belajar membuat kitchen set. Saat itu, permintaan kitchen set sangat tinggi. lebih tinggi dibandingkan mebel lainnya.
“Di situ saya mulai belajar, mulai mengukur, mengenal model sampai memasang. Semuanya saya pelajari.” ujarnya.
Setahun kemudian, Marno memutuskan menyewa lahan sendiri. Lahan itu, selain sebagai bengkel kerja dan showroom, juga dipakai sebagai tempat tinggal dia dan keluarganya. Awalnya. usahanya itu hanya sebagai cabang usaha milik kakaknya. Usaha kakaknya itu letaknya tidak jauh dengan tempat usaha Marno, yakni di Jalan Keradenan, Bogor, Jawa Barat. Sebagian mebel yang ada di tempat Marno adalah milik Yadi. Toko cabang itu ditunggui oleh istri Marno, Sumi. Sedangkan Marno yang mengerjakan semua pesanan mebel dari pelanggan. Status Sumarno,saat itu sebatas pekerja dengan upah Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan. Penghasilannya itu pun, kata Marno, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Cukup-cukup aja waktu itu, karena kan bantuin kakak,” ucapnya merendah.
Selama bekerja, Marno tidak pernah menemukan kesulitan mempelajari cara berbisnis membuat kitchen set. Dasar pemahaman sebagai perajin kusen pintu atau jendela membuat Marno lebih cepat menangkap ilmu baru. Marno yang jujur dan lincah mampu mengembangkan usahanya. Sang kakak pun menantang adiknya untuk membuka usaha sendiri dalam waktu kurang dari tiga tahun. “Pokoknya sebelum tiga tahun kamu harus sudah bisa mandiri. No,” ujar Marno menirukan perkataan kakaknya.
Demi anak
Keberanian mendirikan usaha mebel itu muncul berkat dukungan kakak. Awalnya, Marno dan istri bingung dengan permintaan kakaknya. Mendirikan usaha sendiri itu sama sekali tidak pernah dibayangkan dalam benak pasangan suami-istri itu lantaran kondisinya sangat terbatas.Dia menganggap hanya sebagai pekerja yang memiliki semangat dan upaya keras dalam menjalani profesinya. Marno tidak langsung menjawab tantangan sang kakak.Setahun pun berlalu. Yadi kembali menantangnya untuk mandiri. Bahkan, tenggat waktu yang diberikan sang kakak semakin singkat, kurang dari tiga tahun. “Kalau menunggu tiga tahun takutnya anak kamu enggak bisa sekolah,” tutur Marno yang kembali menirukan kata-kata sang kakak.
BiodataNama: Sumarno |
Dua kali ditantang Yadi membuat Marno seperti “dipecut”. Semangatnya pun muncul. Menurut Marno, dia sudah punya modal sebagai pengusaha, seperti, dipercaya pelanggan, jujur dan bisa memberi kepuasan kepada pelanggannya.Lalu. dia pun membobol tabungannya dan mulai menjadi pengusaha pada tahun 2008. Dia membeli furnitur kakaknya yang dititipkan di showroom-nya. Namun, dia tidak bisa membeli seluruh furnitur karena uang tabungannya hanya Rp 25 juta. Sedangkan seluruh furnitur kakaknya itu itu seharga Rp 30 juta ”Kita bismillah saja memulai usaha ini. Lagi pula ada kakak yang mendukung,” ujar Sumi. (nir) |
Dua Kerbau Dijual Demi Biaya Berobat Bapak
Punya usaha sendiri yang didukung delapan karyawan, tak pernah ada dalam benak Sumarno (40). Dia menganggap dirinya- sebagai orang kampung yang enggan bermimpi terlalu tinggi. Apalagi jadi Pengusaha yang bisa menghasilkan uang puluhan juta rupiah. Mimpi kali yeee. Begitu pikir Sumarno.
Namun garis hidupnya berubah. Ayahnya, Mardi, jatuh sakit. Dua ekor kerbau milik Mardi yang disiapkan sebagai tabungan sekolah untuk Sumarno tepaksa dijual untuk membiayai pengobatan Mardi. Akibatnya. Marno -sapaan akrab Sumarno- tak bisa melanjutkan ke SMA. “Kondisi itu membuat saya terpukul. Ternak yang semula untuk biaya sekolah sudah dijual,” ujar Marno dengan mata berkaca-kaca. Meski begitu, dia ikhlas. Bocah lulusan SMP itu bekerja sebagai tukang kayu. Kejujuran dan keuletannya bekerja selalu dihargai orang-orang di sekitarnya. ”Selepas SMP saya sudah merantau ke Jakarta ikutan proyek,” ujarnya. Saat ini.
hasil kerja keras dan kejujurannya telah berbuah manis. Manajemen usaha dikelolanya dengan cara sederhana sesuai dengan pendidikannya yang lulusan SMP. Para pelanggannya bukan orang sembarangan. Mulai dari camat,pengusaha. anggota DPR-RI, sampai jenderal bintang satu,yang menjadi pelanggan mebelnya. Mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. usaha mebelnya dikenal orang.
Suatu ketika. Marno memasang kitchen set di satu rumah mewah di Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan. Sebelumnya, dia tidak pernah tahu, siapa yang memesan produknya itu.Tapi, ketika sedang memasang exhaust fan, baru dia tahu siapa sang pemilik rumah.
Kala itu, dia bangga. Pasalnya, dia dijemput dari showroomnya dengan mobil berplat TNI dan orang yang menjemputnya pun berseragam tentara. “Yang punya (rumah) itu jenderal. Saya tinggal masang saja karena pulang-pergi diantar,” ujarnya. [nir]
Sumber : Warta Kota edisi 6 Januari 2013
Warta Kota
Comments are closed.